Ketiadaan disebut juga dengan kekosongan, gambaran sederhananya seperti sebuah ruang angkasa tanpa planet-planet, matahari, bulan, bintang dan benda-benda langit lainnya. Atau seperti gambaran pikiran-pikiran yang lalu lalang terlintas dengan visual dan suara-suara yang ada di dalam kepala.
Ketiadaan adalah sumber dari segala yang ada. Ketiadaan meliputi (menyurupi) segala sesuatu yang ada, karena senyatanya segala sesuatu yang ada, berada di ruang ketiadaan itu sendiri.
Ketiadaan adalah kekosongan, keheningan, kesuwungan, uwung (sesuatu hal yang menunjukan keberadaannya ada 'diatas'), ruang kosong. Sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan apapun. Tidak dapat dijelaskan dengan suara, tidak pula dengan kata-kata, karena suara dan kata-kata terlahir dari keheningan itu sendiri.
Dalam bahasa sanskerta ketiadaan disebut dengan 'sunya' yang berarti kosong, hampa, nol, tidak ada apa-apa. Sunya sendiri berasal dari akar kata 'svi' yang akhirnya diserap kedalam bahasa Indonesia menjadi sepi atau sunyi.
Kata 'sunyata' sudah lama dikenal di Nusantara. Mpu Tantular seorang sastrawan yang terkenal dalam era kerajaan menyebutkan dalam catatan Arjunawiwaha:
"Ambĕk saŋ paramārthapaṇḍita huwus limpad sakêŋ śūnyatā"
"Batin sang tahu hakikat tertinggi telah mengatasi segalanya karena menghayati kesunyataan."
Dalam karya lainnya misalkan Sutasoma, sunyata juga acap kali disebutkan sebagai kualitas spiritual yang penuh welas asih.
Kesunyatan atau kesuwungan dalam lontar Jawa Tatwa Sawang Suwung, menceritakan bahwa alam semesta terlahir dari Sanghyang Taya (Suwung). Sementara Sanghyang Taya juga terdapat dalam lontar Sunda Sanghyang Hayu yang berasal dari kata Sunyataya — sebuah naskah kuno yang berisi tentang teologi dan kosmologi yang mengandung pedoman-pedoman hidup, kebajikan dan kesejatian dalam ruang kesadaran.
Akulturasi dan asimilasi yang dilakukan para sufi seperti Syekh Siti Jenar di Jawa juga membuat konsep suwung ini juga dikaitkan dengan konsep Islami dengan istilah Manunggaling Kaula Gusti (Allah).
Ada banyak konsep dan istilah bahasa yang ada dalam banyaknya teologi, akan tetapi jika kita lihat intisari dari semua itu, semua mengajarkan tentang asal usul dan tujuan hidup yang mengerucut dan berakhir pada apa yang kita sebut diawal, yaitu; Ketiadaan, kekosongan, suwung, keheningan, ruang kesadaran awal yang meliputi segala yang ada dan ke sanalah semua yang ada akan kembali.
Tulisan ini juga tidak dapat menjelaskan secara utuh dan komprehensif, hanya saja sebuah keinginan kecil untuk mencoba memberikan sebuah kisi kisi gambaran untuk memantik cara pandang berpikir kita mengenai hakikat keberadaan di jagat semesta ini. Sehingga kita dapat mencoba memahami dan menyadari eksistensi keberadaan kita saat ini yang sejatinya kita sedang berada didalam ruang ketiadaan.
Dimana itulah yang kita sebut dengan ruang kesadaran tanpa batas meliputi segala hal yang ada di jagat semesta ini. Karena sejatinya kita bukanlah nama, bukanlah tubuh, bukan pula pikiran atau sensasi rasa (emosional), akan tetapi ruang hening kesadaran, yaitu sumber dari segala sumber keberadaan.
Di wilayah Parahiyangan, Jawa Barat, ada sebuah pribahasa Sunda yang berbunyi; "Lamun hayang neangan Gusti, téangan haté kangkung, galeuh bitung, tapak meri dina leuwi, tapak soang di awang-awang".
"Jika ingin mencari Tuhan, carilah hati atau inti dari sebatang kangkung, hati atau inti dari sebatang bambu, jejak itik di air atau di sungai, jejak angsa di angkasa.
Artinya kita tidak dapat menemukan apa-apa selain kekosongan, kita tidak dapat melihat apa-apa karena apa yang dicari tidak ada.
Lantas, apakah Tuhan itu tidak ada?

0 Komentar