Oleh: Cevi Whiesa

"Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan para resi".

Pitutur tersebut terdapat pada naskah Amanat Galunggung. Apa makna dibalik pitutur tersebut? Sementara, masyarakat Sunda juga mengenal sebuah pitutur yang berbunyi "Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung". Jika diperhatikan, seolah dua pitutur ini saling berkaitan satu sama lain.

Mari kita bedah. Dalam pemahaman masyarakat Sunda, kabuyutan adalah tempat Ka-Ramaan, di mana para pemimpin; Sang Rama atau Maha Ratu menimba ilmu kebijaksanaan. Kabuyutan juga merupakan tempat bagi pemimpin yang sudah selesai menjalankan tugasnya di Ka-Ratuan atau karaton; mengurus pemerintahan atau negara, kembali ke sana untuk melanjutkan tugasnya menjaga ajaran leluhurnya. Mereka tidak selamanya berada di tampuk kekuasaan dan akan meninggalkan segala kemewahan dalam kekuasaan manakala tugas kenegaraannya sudah purna. Memilih kembali ke gunung sebagai sumber kehidupan yang menghidupi negara serta masyarakat yang telah dipimpinnya. Hidup dengan sangat sederhana di sana hingga kelak kabuyutan menjadi tempat persemayamannya. Maka bisa dikatakan bahwa kabuyutan adalah ‘kerajaan’ tertinggi setelah karaton atau tempat mengurus kenegaraan. 

Kabuyutan merupakan pusat ajaran tentang kehidupan yang kelak dibawa dan dipraktikan dalam kehidupan bernegara. Keberadaan kabuyutan sangatlah megalitik dan sederhana, menyatu dengan alam, tanpa adanya suatu bangunan megah yang tidak berpihak pada kelestarian alam. Di sanalah, mereka menyimpan berbagai ajaran, pesan, dan cerita yang kelak bisa diambil oleh yang membutuhkan; tempat tunda alaeun carita pakeun anu néang. Konteks 'menguasai' dalam pitutur di atas bisa jadi adalah telah tuntasnya pemahaman terhadap berbagai ajaran, pesan, dan cerita yang ada di sana serta mampu merealisasikan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. 

Sementara, pitutur "Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung" dapat dimaknai telah diterimanya nilai-nilai ajaran tentang pencerahan atau penerangan yang bersifat petunjuk dari Galunggung. Kata Sunda berarti terang, pulung berarti restu, dan Galunggung berasal dari kata Galuh Hyang Agung yang berarti Tanda Kemuliaan Yang Agung. Hal ini, hanya bisa diwarisi atau turun kepada manusia yang memiliki galeuh atau cahaya jati diri dan galih atau penuntun jiwa dalam mengimplementasikan nilai-nilai galuh atau kemuliaan hati pada kehidupan sehari-hari. 

Dengan kata lain, nilai-nilai yang bersifat petunjuk ini hanya akan turun kepada manusia yang memiliki keweningan hati dan pikiran (galuh galeuhna galih). Pesan atau anjuran yang sangat luhung ini kerap kali dipahami secara tersurat saja. Sehingga banyak yang salah dalam memaknainya, menguasai kabuyutan bukan berarti harus melakukan ritual dengan berbagai syarat yang berbau klenik.

Maka di sinilah pentingnya kehati-hatian dalam memahami setiap pesan; leluhur bangsa Sunda selalu sangatlah cerdas dalam menyampaikan suatu hal — karenanya terdapat sebuah metodologi keilmuan untuk memecahkan sandi-sandi atau kodifikasi yang disebut panca curgia – mereka mendidik pewarisnya untuk senantiasa menjadi manusia yang cerdas dan mampu menjaga alam berfikir yang sehat. 

Pertanyaan mendasar terkait hal ini, dalam konteks saat ini, mampukah kita menguasai kabuyutan itu? Di tengah kemunduran cara berfikir akibat terperangkap dalam kebodohan yang dibentuk secara sistematis!